Jaksa Penuntut Umum (JPU) menganggap pledoi dari terdakwa perintangan penyidikan (/) pembunuhan berencana Brigadir J, yakni Arif Rachman Arifin, dianggap keliru. Hal itu diketahui dari sidang dengan agenda replik hari ini.
JPU mengatakan, dalih Arif terkait daya paksa dari Ferdy Sambo terhadap dirinya tidak terbukti. Ferdy Sambo dianggap tidak pernah memberikan tekanan terhadap Arif.
“Ferdy Sambo tidak melakukan paksaan atau ancaman secara nyata terhadap Terdakwa Arif Rachman Arifin,” katanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/2).
JPU menyebut, pledoi Arif sempat menyinggung Pasal 52 ayat 2 KUHP yang isinya terkait perintah dengan itikad baik dapat menghapuskan pidana. Namun, dari sumber yang dikutip JPU, itikad baik dengan poin kejujuran dan kepatuhan tidak terwujud oleh tindakan Arif.
Arif telah menyampaikan kepada terdakwa Baiquni Wibowo untuk menghapus seluruh file yang dapat digunakan sebagai barang bukti. Apalagi, tindakan itu di luar lingkup kerjanya sebagai Wakaden B Biro Paminal Polri.
Arif juga didakwa telah merusak alat bukti dengan mematahkan laptop. Ia pun disebut hanya berdiam dan merahasiakan kasus ini hingga terbongkar.
“Kesimpulan, berdasarkan seluruh uraian di atas maka kami penuntut umum dalam perkara ini berpendapat bahwa pledoi Terdakwa Arif Rachman Arifin beserta tim kuasa hukumnya haruslah dikesampingkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Terdakwa obstruction of justice perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, Arif Rachman Arifin, mengaku, tidak mudah untuk menerima perintah atasan seperti Ferdy Sambo. Hal itu disampaikan dalam nota pembelaan atau pledoinya atas kasus tersebut.
Arif mengatakan, dirinya merasa empati kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi yang menangis sedih. Ada perasaan empati besar yang timbul dalam hatinya.
“Sungguh tidak semudah membaca kalimat dalam peraturan tentang menolak perintah atasan,” kata Arif di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (3/2).
Ia menyebut, dalam Polri ada budaya yang mengakar dalam rantai komando. Hubungan berjenjang yang biasa disebut sebagai relasi kuasa itu bukanlah sekedar ungkapan saja. Namun, suatu pola hubungan yang nyata dalam memberikan batasan-batasan tegas antara atasan dan bawahan.
Berpangkat kembang dua dalam pundaknya, masyarakat menuding dirinya dapat menolak perintah tersebut. Padahal, jarak pangkat keduanya melebihi dugaan masyarakat.
Itulah sebabnya, budaya organisasi tersebut sangat berdampak hingga sangat rentan terjadi penyalahgunaan keadaan karena ada relasi kuasa. Sementara, predikat Arif Rachman tetap hanyalah bawahan di bawah kendali atasannya.
“Kondisi rentan penyalahgunaan keadaan ini mungkin tidak bisa dengan mudah dipahami semua orang,” ujarnya.